h1

Hutan Cianjur|Hijaukan?

January 9, 2007

PEMPROV Jabar menjadi juara pertama pelaksanaan GNRHL dan Gerakan Hutan Nasional (Gerhan) tingkat nasional. Sementara Kab. Garut, Kab. Bogor, dan Kab. Bandung meraih penghargaan serupa di tingkat provinsi. Untuk mengetahui lebih jauh, ”PR” mengupasnya pada halaman 25 dan 26.

GERAKAN Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) dan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) pada dasarnya adalah gerakan penghijauan lahan kritis yang seharusnya berupa hutan. Hutan adalah infrastruktur alam yang sangat menentukan keberlangsungan kesejahteraan rakyat, khususnya di Tatar Sunda, yang sering diungkapkan dalam rumus keterkaitan ekosistemnya leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak atau no forest, no water, no future.

Dengan luas total wilayah Provinsi Jawa Barat 3.720.772 hektare, maka luas kawasan lindung 45% adalah sekitar 1.674.347 hektare, dibulatkan menjadi sekitar 1.700.000 hektare. Terdiri hutan negara seluas kurang lebih 800.000 hektare, perkebunan besar milik negara dan perkebunan besar milik swasta seluas kurang lebih 500.000 hektare, dan lahan milik masyarakat seluas kurang lebih 400.000 hektare.

Akibat kerusakan lahan di luar kawasan hutan ini terjadi lahan kritis di hampir semua kabupaten dan kota di Jawa Barat yang jumlahnya tidak kurang dari 450.539 hektare.

Sementara itu, dalam kawasan hutan selama kurun waktu 5 tahun hingga 2001, telah terjadi pengurangan luas hutan primer hampir seperempatnya dan hutan sekunder hampir sepertiganya, karena beralih fungsi menjadi pertanian liar, kawasan permukiman, bahkan tanahnya digali untuk bahan bangunan. Lahan hutan yang berada dalam kondisi kritis dilaporkan mencapai luas 158.274 hektare. Tampaknya luas lahan kritis yang dilaporkan belum merujuk secara saksama sasaran luas kawasan lindung yang diharapkan di tiap kabupaten kota.

Pemprov Jabar telah menargetkan dalam kurun waktu lima tahun (2004-2008), semua lahan kritis di seluruh Jawa Barat sudah selesai ditanami tanaman produktif, baik yang dikembangkan melalui Program GRLK maupun GNRHL, dengan perincian tahun 2004 seluas 97.767 hektare (17%), tahun 2005 seluas 102.407 ha (18%), tahun 2006 seluas 140.401 ha (24%), tahun 2007 seluas 120.513 ha (21%), dan tahun 2008 seluas 119.309 ha (20%). Dengan distribusi bibit 79,1 juta pohon, terdiri dari 26,6 juta pohon dibiayai dari APBN dan 52,5 juta pohon berasal dari dana APBD.

Perlu pemeliharaan

Pada kenyataannya lahan kritis yang berhasil dipulihkan pada tahun 2004 seluas 96.000 ha atau 11% melebihi target GRLK waktu itu 87.000 ha. Namun kajian Komisi B menyatakan dana GRLK dari APBD Jabar sebesar Rp 5 miliar hanya dapat merehabilitasi lahan kritis 1.600 ha. Adapun bagian lainnya adalah kegiatan Perum Perhutani Unit III menanam sebanyak 52 juta batang selama tahun 2004 dan hanya 827.000 batang di antaranya dibeli dari dana GRLK. Setiap pohon menempati lahan seluas 6 meter persegi dengan jumlah pohon per lahan sebanyak 500 batang.

Memang dilaporkan luas lahan kritis yang berhasil dihijaukan dari tahun ke tahun terus meningkat, sehingga saat ini katanya tinggal 400.000 ha lahan kritis yang belum dihijaukan, antara lain terdapat di Kab. Garut dan Kab. Bandung, terutama di perkebunan rakyat. Pada kenyataan di lapangan sebenarnya berbagai pihak independen dapat melakukan kajian mandiri yang lebih saksama. Sebagai contoh dari penanaman pohon yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat pada akhir tahun 2005 di lahan lima desa di tiga kabupaten. Sebanyak 25.000 bibit pohon yang ditanam secara seksama dengan membuat lubang tanaman terlebih dahulu disertai pengomposan dan pemeliharaan.

Pada awalnya tumbuh lebih dari 95%, namun sehabis musim kemarau tahun 2006 yang baru lalu tinggal 85%. Tentunya kondisi yang lebih jelek akan dialami oleh cara penanaman yang kurang saksama. Program GNRLH maupun GRLK pada tahap awal dilaporkan tumbuh di atas 75%, namun tidak pernah ada laporan berapa yang masih hidup setelah kuartal pertama dan kuartal kedua, bahkan setelah mengalami musim kemarau seperti yang baru lalu.

Sudah barang tentu pemantauan seperti ini akan memberikan kualitas angka yang berbeda bila dilaporkan dalam bentuk luasan lahan bukan dalam jumlah tegakan pohon.

Sebenarnya upaya penghijauan lahan hutan tidak perlu sesulit yang dibayangkan seperti dalam penyusunan APBD maupun APBN selama ini. Prof. Otto Soemarwoto pernah menjelaskan bahwa hutan akan mampu memperbaiki dirinya secara alami asal jangan diganggu oleh tangan-tangan manusia. Oleh karena itu, di atas lahan hutan, yang perlu dilakukan adalah membatasi campur tangan manusia baik secara legal apalagi ilegal, baik oleh orang dalam apalagi oleh orang luar pengelola hutan.

Hal ini dapat dilakukan melalui kemauan politik dan peraturan yang dimaksudkan untuk melakukan pembatasan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, gangguan terhadap hutan di Jawa Barat disebabkan oleh pencurian kayu sebanyak 80%, perambahan hutan 10%, kebakaran 7%, dan bencana alam 3%.

Berbasis masyarakat

Dengan demikian program GNRHL dan GRLK tinggal memfokuskan diri pada penghijauan di luar hutan dengan basis partisipasi masyarakat yang sebenar-benarnya dan mengangkat keunggulan setempat. Wagub Nu’man Abdul Hakim pada Pertemuan Penyusunan Rencana Teknis Tahunan (RTT) Rehabilitasi Lahan Kritis Tahun 2007 mengemukakan agar dipahami oleh semua pihak bahwa GRLK sebagai suatu gerakan harus dapat menggugah masyarakat untuk dapat menanam, memelihara, dan melestarikan tanaman. Semua SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan lembaga terkait mengalokasikan dana operasional pada anggaran masing-masing, dan pemkab/pemkot lebih proaktif dalam pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis di daerahnya masing-masing dengan pengalokasian anggaran dalam APBD-nya.

Di sisi lain dengan berpedoman pada SK Gubernur, dari rangkaian kegiatan GRLK, 15% dana dialokasikan untuk kegiatan sosialisasi. Untuk selanjutnya bagi daerah yang telah berhasil melaksanakan GRLK dan masyarakatnya telah mempunyai pemahaman atas program ini, kegiatan tersebut dapat dihilangkan dan alokasi dananya dialihkan untuk pengadaan bibit tanaman dan biaya pemeliharaan.

Hal ini setidaknya dapat memicu adanya kinerja positif secara simultan dalam menyelamatkan tanaman yang telah tumbuh. Pembinaan masyarakat pedesaan dalam kawasan perkebunan rakyat 189.724 ha dan lahan milik masyarakat 632.115 ha melalui konsep agroforest dan penanaman pohon-pohon keras akan merupakan kunci tercapainya fungsi kawasan lindung 45% di Jawa Barat.

Di tingkat kebijakan nasional pun pola pengadaan bibit pohon dalam pelaksanaan program GNRHL direncanakan akan lebih disederhanakan agar masyarakat di daerah-daerah bisa turut diberdayakan dalam hal penyediaan bibit pohon untuk mendukung pelaksanaan GNRHL di daerahnya masing-masing, namun pada kenyataan di lapangan belum terjadi dan tidak mengubah praktik-praktik penyimpangan yang ada.

Sementara pada tataran peraturan perundangan masih terdapat perbedaan platform antara Perda RTRW Provinsi No. 2/2003 dengan Kepmenhut No. 195/2003 dan UU No. 32/2004 menyangkut penetapan kawasan hutan lindung, konservasi dan produksi di Jawa Barat yang ternyata sangat menghambat upaya membatasi intervensi tangan-tangan manusia di kawasan hutan.

Upaya rehabilitasi dan penghijauan cenderung gagal terus karena tidak berbasis kesemestaan rakyat, bibit tanaman tidak bermutu, tidak sesuai kondisi lahan dan keinginan rakyat, serta salah musim tanam.

Sebagai penutup dapat dikemukakan bahwa program GNRHL dan GRLK yang dijalankan belum tentu mampu memberikan hutan lestari yang hijau, tapi dengan jumlah uang anggaran yang terlibat semakin besar sudah pasti akan membuat ”hijau” mata para koruptor dan dapat menjadi inspirator timbulnya berbagai penyimpangan.***

Penulis, Ketua Dewan Pakar, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS). |PikiranRakyat|

2 comments

  1. halo, bagaimana beras Cianjurnya ?


  2. […] Hutan Cianjur|Hijaukan? » […]



Leave a reply to » Gede pangrango BERPETUALANG Cancel reply