h1

Perda Tata Kelola Pendidikan.. Kapan?

August 31, 2007

CIANJUR–Dinas Pendidikan (Disdik) Kab Cianjur diminta proaktif menanggapi tuntutan pembuatan Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Kelola Pendidikan. Perda tersebut untuk menghapus berbagai pungutan di sekolah yang mahal dan tidak jelas dasar hukumnya, serta lebih berpihak pada warga masyarakat.

”Disdik Cianjur harus pro aktif terhadap tututan pembuatan perda tersebut,”kata Pendiri Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Masyarakat Cianjur, Awaludin, kepada wartawan, Rabu (23/8). Dikatakan dia, pembuatan perda tersebut harus dipercepat mengingat banyaknya keluhan dari warga masyarakat.

Menurut Awaludin, tuntutan itu untuk menjawab masalah mahalnya biaya pendidikan di tingkatan pendidikan menengah, baik SMA maupun SMK. ”Perda Tata Kelola Pendidikan harus dipercepat untuk menjawab keluhan masyarakat yang terbebani dengan mahalnya biaya pendidikan,”ujar dia.

Dikatakan Awaludin, selain mengatur masalah pembiayaan dana pendidikan di sekolah, perda juga mengatur hal lainnya.”Seperti diantaranya masalah tata kelola guru, murid, proses belajar mengajar (PBM), iuran, dan implementasi kurikulum, serta percepatan pencapaian kenaikan indeks pembangunan mansia (IPM),”tutur dia. rig

Penyebaran Informasi HIV/AIDS di Bandung Rendah

BANDUNG — Penjangkauan (upaya pembinaan,red) terhadap ‘lelaki hidung belang’ yang berpotensi tertular HIV/AIDS baru 2.490 dari 32.290 orang. Begitupun penjangkauan untuk lelaki suka lelaki dan pekerja seks komersial.

”Dari sekitar 3.490 pekerja seks komersial baru terjangkau 1.132 orang dan dari 11.220 lelaki suka lekaki baru terjangkau 1.555 orang,” ujar Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung, Sukarno MM, Kamis (23/8). Penjangkauan yang dimaksud, kata dia, adalah penyebaran informasi kepada kelompok resiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Sukarno menjelaskan, rendahnya penjangkauan ini tidak terlepas dari minimnya dana yang dimiliki oleh KPA Kota Bandung. Untuk itu, pada 2008 pihaknya mengajukan kebutuhan dana Rp 1 miliar. Sebelumnya, KPA Kota Bandung mendapatkan dana dari APBD Kota Bandung senilai Rp 150 juta.

Berdasarkan data dari KPA Jawa Barat penularan HIV/AIDS di Jawa Barat semenjak tahun 1999 hingga Juni 2007 tercatat tidak kurang ada 2.789 warganya yang sudah terpapar. Dari jumlah itu, 1.507 orang tertular HIV positif, sisanya sudah dinyatakan terkena AIDS. Kota Bandung sendiri menduduki peringkat tertinggi, karena 695 warganya menderita AIDS, dan 506 lainnya HIV. ren

Standarisasi Tarif RS Timbulkan Kontroversi

BANDUNG — Rencana Menteri Kesehatan, Siti Fadillah Supari, untuk menstandarisasi tarif rumah sakit pemerintah menimbulkan kontroversi. Pasalnya, tidak semua rumah sakit mempunyai standar yang sama.

”Kalau standarisasi pelayanan itu bagus, tapi kalau untuk tarif perlu pengkajian ulang,” ujar anggota Komisi D DPRD Kota Bandung, Kusmeni S Hartadi, Kamis (23/8).

Kusmeni menjelaskan, standarisasi tidak mesti untuk nominal. Misalnya, standarisasi pelayanan kelas III dengan program Askeskin. Pasalnya, rakyat miskin pun berhak mendapatkan pelayanan yang baik.

”Jika orang miskin ini mendapatkan pelayanan yang bagus dan sama di setiap rumah sakit, itu baik,” kata Kusmeni menjelaskan. Standarisasi nominal, kata dia, tidak sama di setiap rumah sakit, meskipun itu kelas III.

Dikatakan Kusmeni, rumah sakit mempunyai kualifikasi. Kualifikasi tersebut berpengaruh pada harga, karena berhubungan juga dengan biaya operasional. Untuk itu, nominal rumah sakit yang satu dengan yang lain tentunya berbeda. ren

2 comments

  1. perda itu dibuat untuk menambah pundi2 kekayaan pejabat, mana ada perda berpihak pada pendidikan dan rakyat


  2. Realisasikan Anggaran 20%

    Rendahnya komitmen pemerintah terhadap pendidikan dapat dicermati antara lain pada rendahnya anggaran yang dialokasikan pada bidang pendidikan. Sejak kemerdekaan dideklarasi di negara ini lebih dari setengah abad yang lalu ternyata anggaran pendidikan tidak pernah mencapai angka yang memadai. Anggaran pendidikan di Indonesia memang sangat minim dan termasuk paling rendah dibanding negrara-negara lain, baik dengan negara-negara maju, berkembang, maupun terbelakang. Anggaran pendidikan di Indonesia hanya sekitar 1 persen dari GNP, padahal angka rata-rata untuk negara-negara terbelakang (least developed countries) seperti halnya Angola, Bangladesh, Malawi, Ethiopia, Congo, Nepal, Samoa, dan sebagainya sudah mencapai bilangan 3,5 persen. Sungguh-sungguh terjadi, Indonesia yang konon sudah lebih maju dari negara-negara terbelakang tersebut ternyata lebih pelit dalam mengalokasikan dana untuk kepentingan pendidikan rakyat.
    Salah satu contoh ekpresi kebijakan pendidikan tergambar pada rangkaian penyusunan dan pengesahan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Pengusulan program-program pendidikan selalu di monopoli oleh kekeuasaan dinas Pendidikan beserta kroni-kroninya. Kondisi semacam ini telah melahirkan kebijakan anggaran yang anti realitas, dan parahnya pemerintah selalu mengajarkan ketidakkonsistenan terhadap amanah konstitusi yang mewajibkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan minimal 20%. Angagaran pendidikan dari total APBN dan APBD.
    Meskipun UUD 1945 (amandemen) pasal 4, mengamanatkan bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran dan belanja daerah, tetapi masih banyak daerah yang belum merealisasikannya. Sebagai contoh, di kota Malang, menurut Peraturan Pemerintah daerah Kota Malang nomor 13 tahun 2001 pasal 11 bahwa “anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 10 % dari anggaran pendapatan dan belanja daerah”. Bahkan, menurut Dedi Supriadi (2002) anggaran pendidikan secara nasional berkisar antara 6% sampai dengan 12% dari RAPBN. Ini menunjukkan bahwa pemerintah maupun pemerintah daerah masih belum serius dalam menangani masalah pendidikan di negeri ini. Bayangkan saja apabila sebuah keinginan yang begitu menggebu dari masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah unggulan tetapi dibarengi dengan biaya pendidikan yang tinggi, apa jadinya masyarakat???

    Salam,



Leave a reply to Sismanto Cancel reply